Jakarta - Tak mudah bagi Dewi Suryana (21) lulus dari
Teknik Material Nanyang Technological University (NTU) Singapura dengan
cumlaude. Dewi yang berasal dari keluarga tidak mampu ini harus jatuh bangun
meraihnya.
Dewi baru saja diwisuda dari Teknik Material NTU
Singapura pada 30 Juli 2016 lalu. Lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
di atas 4,6 dari 5, dalam waktu 3 tahun, dari masa normal 4 tahun, dia masuk
kategori first class alias cumlaude di kampus bergengsi itu. Menengok ke
belakang, Dewi tidak menyangka dia bisa sampai di titik ini.
Maklum, orangtua Dewi yang tinggal di
Pontianak-Kalimantan Barat, ayah Lim Bun Phong (55) dan ibu Lim Hoei Luan (56),
ini kondisi finansialnya sangat pas-pasan. Jangankan bermimpi kuliah ke luar
negeri, untuk makan hari itu saja, keluarga Dewi tertatih-tatih. Ayah Dewi yang
mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD bekerja serabutan sebagai tukang
perbaikan alat-alat elektronik.
"Ayah saya betulin alat elektronik, dia nggak
pernah lulus SD, ayah saya belajar elektronik otodidak sama temannya. Jadi
tergantung ada orang yang minta bantuan atau tidak, uangnya nggak
seberapa," tutur Dewi saat berbincang dengan detikcom, Minggu (25/9/2016)
malam. Saat ditelepon, Dewi sedang berada di dalam MRT Singapura menuju rumah
muridnya untuk memberikan les privat.
Sedangkan ibunya, seorang ibu rumah tangga tamatan
SD yang ingin menopang ekonomi keluarganya. Ibunya bekerja serabutan demi
keluarganya bisa makan dan melanjutkan sekolah anak-anaknya.
"Ibu saya kerja apapun yang dia bisa. Ada
saudara yang punya usaha dodol durian, ibu saya bantu-bantu buat dodol durian.
Kadang-kadang ibu jualan baju, dapat komisi, tapi nggak seberapa. Ibu dan ayah
penghasilannya tidak karuan. Saya dulu nggak bisa membantu, adik-adik masih
kecil nggak ada yang jaga," tuturnya.
Sebagai anak kedua, dari empat bersaudara, banyak
tanggungan yang harus dipikul kedua orangtuanya. Tidak jarang keluarga mereka
tidak punya lauk untuk makan hari itu.
"Kalau siang sudah habis lauknya, untuk makan
malam, makanan paling murah dan enak ya mie instan. Lama-lama bisa sakit
ya," kenangnya.
Untuk sekolah, Dewi harus meminta keringanan biaya
kepada pihak sekolah hingga memakai buku-buku lungsuran kakaknya. Suatu hari,
Dewi yang bersekolah di SMPK Immanuel Pontianak, diharuskan membeli buku satu
paket, buku aja dan buku tugas. Harga satu paketnya Rp 32 ribu.

Dewi lantas menangis karenanya dan mengadu ke sang
guru. Guru itu kemudian menghadap Kepala SMPK Immanuel saat itu, Martin
Teopilus.
"Saya nggak bisa berkata apa-apa. Pak Martin
tanya 'Kenapa kamu nggak beli buku?' Saya bilang saya nggak berani minta uang
sama ayah, ayah saya nggak punya uang lebih. Akhirnya Pak Martin memberikan
saya uang tambahan Rp 16 ribu lagi, dan akhirnya saya dapat satu paket buku.
Besoknya, saya dapat beasiswa penuh, saya nggak minta, saya juga nggak tahu
bisa dapat beasiswa. Pak Martin memotivasi saya untuk berjuang keluar dari
kesulitan ini," tutur Dewi.
Sebenarnya, keluarga besar Dewi dari ayah dan ibu
ada yang mampu dan memiliki kondisi ekonomi yang bagus. Cuma keluarganya
pantang meminta-minta.
"Keluarga kami nggak pernah mau minta bantuan
orang lain, saya nggak mau keluarga saya dipandang rendah. Saya mau keluar dari
keadaan ini saya buktikan lewat pendidikan, ubah ekonomi keluarga saya, agar
orangtua saya anak-anaknya sukses. Ayah saya nggak mampu kasih banyak, dulu
selalu antar ke sekolah, perjuangan mereka kasih saya makan lumayan meski kami
kekurangan, kami masih bersyukur masih bisa hidup," kenang Dewi yang kini
sudah bekerja di Singapura.
(nwk/iy)
Sumber informasi : http://news.detik.com/berita/3307429/perjuangan-dewi-suryana-dari-keluarga-tak-mampu-raih-cumlaude-di-ntu-singapura?_ga=1.81119511.182016279.1469001591
0 komentar:
Post a Comment